Oleh : Siti Rima Sarinah

Presiden Jokowi menyerahkan status darurat di daerahnya kepada kepala daerah. Pasalnya Jokowi menilai tingkat penyebaran virus corona Covid 19 derajatnya bervariasi setiap daerah. Kendati begitu, para kepala daerah tetap diminta untuk berkoordinasi ke Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk menentukannya. Kepala BNPB yang ditunjuk oleh Jokowi adalah Letjen Doni Monardi sebagai Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Berdasarkan satus kedaruratan daerah pemerintah daerah akan dibantu oleh pihak TNI-Polri serta mendapat dukungan dari pemerintah pusat dalam mengatasi penyebaran dan dampak Covid -19. Dengan begitu, maka dapat ditangani secara efektif. (Liputan6)
 .
Penyataan Jokowi mendapat kritikan oleh Ketua DPP PKS Mardani Ali, yang menyatakan pola Pak Jokowi menyerahkan pada kepala daerah seperti lepas tanggung jawab. Mesti ada satu kebijakan nasional yang diikuti oleh seluruh pihak, termasuk seluruh kepala daerah. Dalam kondisi pandemi, kebijakan yang berbeda-beda tidak efektif, karena bila dikembalikan kedaerah-daerah terkait status bencana dikhawatirkan berbeda pendapat, dan pandemi,  ini tidak mengenal daerah (detiknews, Minggu 15 Maret 2020).
 .
Kasus positif virus Corona atau Covid-19 di Indonesia pertama kali terdeteksi pada Senin, 02 Maret 2020. Pertama kali diumumkan oleh Presiden Jokowi, sejak saat itu jumlah kasus posistif Corona semakin meningkat dari hari ke hari. Juru Bicara Presiden untuk Penanganan Virus Corona, Achmad Yurianto memaparkan, ada penambahan kasus baru 81 orang sehingga total kasus sudah mencapai 450 orang dengan kasus sembuh 20 orang. Kemudian ada penambahan kasus kematian 6 orang, sehingga total yang meninggal 38 orang (Merdeka.com, Sabtu 21 Maret 2020).
 .
Kebijakan Jokowi yang menyerahkan status darurat kepada masing-masing kepala daerah menunjukkan bahwa, ketidakseriusan pemerintah dalam menangani wabah virus corona yang semakin banyak terpapar virus Covid-19 ini. Mengikuti anjuran Presiden Jokowi per tanggal 16 Maret 2020, kepala daerah melakukan kebijakan untuk meliburkan sekolah, perkantoran  dan instansi pemerintahan sebagai gerakan sosial distancing. Gerakan sosial distancing ini sebagai upaya untuk mengurangi penyebaran virus corona melalui interaksi manusia ke manusia. Sekarang yang menjadi pertanyaannya adalah apakah himbauan sosial distancing tersebut efektif ?
 .
Tentu tidak, karena sosial distancing memunculkan permasalahan baru yaitu  perekonomian bagi masyarakat kecil, yang terpaksa harus tetap keluar rumah untuk mencari nafkah. Karena tidak semua pekerjaan bisa dilakukan dari rumah, seperti belajar di rumah dan bekerja di rumah yang bisa dilakukan oleh siswa dan karyawan perkantoran. Dan bagaimana dengan masyarakat kecil yang tidak mendapatkan gaji bulanan untuk membeli kebutuhan selama “masa karatina”, siapa yang akan menanggung nafkah keluarga mereka jika mereka tidak bekerja diluar rumah untuk mengikuti himbauan pemerintah ?
 .
Ada baiknya kita melihat apa yang dilakukan oleh pemerintah  Vietnam dalam menerapkan sosial distancing dalam rangka memutus mata rantai penularan dan penyebaran Covid-19. Bukan hanya sosial distancing yang mereka lakukan, tetapi mengisolasi, mengkarantina, dan mengendalikan pergerakan orang-orangnya. Alhasil laju perkembangan penularannya menjadi lambat. Bukan hanya itu, untuk mengefektifkan semua upaya tersebut pemerintah setiap hari menyuplai kebutuhan makanan yang diperlukan oleh masyarakat selama masa isolasi dan karatina serta tetap memberikan gaji full kepada mereka. Dan melakukan kebijakan lockdown sebagai langkah prakttis untuk mengendalikan penyebaran dari virus Covid-19, dan memberi sanksi/hukuman bagi warga yang melanggar aturan yang dibuat oleh pemerintahnya.
.
Bagaimana dengan Indonesia, Juru Bicara Wakil Presiden Masduki Baidlowi mengungkapkan bahwa pertimbangan pemerintah untuk tidak memilih opsi

lockdown dalam mencegah penyebaran virus corona, karena akan menghentikan ekonomi dalam negeri khususnya pada sektor pariwisata. Bahkan ditengah maraknya wabah virus corona, Jokowi justru berencana memberikan diskon bagi wisatawan sebesar 30 persen untuk mendorong pariwisata di Indonesia. Strategi ini dilakukan untuk mengatasi penurunan jumlah wisatawan usai mewabahnya virus corona covid-19.
.
Pariwisata memang menjadi sektor prioritas unggulan dalam pemerintahan Jokowi  bahkan akan menjadi masterpiece Indonesia dalam membangun ekonomi. Namun apakah demi alasan pariwisata, lockdown tidak dilakukan sehingga rakyat harus jadi korban? Bagaimana mungkin bisa menghentikan penyebaran dan penularan virus corona hanya dengan sosial distancing, tetapi tidak mengambil langkah lockdown ? Padahal kebijakan ini telah banyak dilakukan oleh negara-negara yang lebih dulu terinfeksi virus ini seperti Cina. Dan dalam waktu 2 bulan penyebaran dan penularan virus corona bisa dihentikan, dengan menghabiskan dana sebesar 86 trilyun. Desakan untuk lockdown banyak diserukan oleh masyarakat termasuk tenaga medis ditengah mewabahnya virus corona di Indonesia. Namun pemerintah sepertinya enggan mengambil opsi  tersebut  lagi-lagi dengan alasan perekonomian nasional.
 .
Kebijakan lockdown merupakan kebijakan yang lebih dahulu dilakukan oleh Islam sejak 1441 tahun yang lalu dalam menghadapi wabah penyakit. Rasulullah Saw pernah terjadi wabah kusta yang menular dan mematikan sebelum diketahui obatnya. Kala itu, Rasulullah SAW memerintahkan untuk tidak dekat-dekat atau melihat orang yang mengalami kusta atau lepra, ini bisa dimaknai sebagai sosial distancing artinya menjauh atau jauhi dari wabah. Nabi Muhammad SAW juga pernah memperingatkan umatnya untuk tidak masuk ke wilayah yang sedang terkena wabah. Sebaliknya, jika berada didalam tempat yang terkena wabah dilarang untuk keluar, ini bisa dimaknai lockdown. Kebijakan yang mesti dibuat pemerintah untuk menjaga kemaslahatan rakyatnya. Seperti diriwayatkan dalam hadist berikut ini yang artinya,” jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu”(HR Bukhari No 5728).
 .
Hadist diatas menunjukkan bahwa lockdown adalah upaya taktis, praktis dan strategis dalam menghadapi pandemi wabah penyakit seperti virus corona. Walaupun memang ada efek yang ditimbulkan jika negara melakukan lockdown, tetapi Islam memerintahkan bahwa nyawa manusia lebih utama dari segalanya. Sebenarnya dampak ekonomi yang ditimbulkan karena kebijakan lockdown bisa diatasi, karena Indonesia adalah negara yang kaya raya tapi saynganya kekayaan tersebut tidak bisa dikmati oleh rakyat karena semua diserahkan kepada para kapitalis untuk mengelolanya.
 .
Rakyat butuh pemimpin yang amanah dan peduli terhadap permasalahan rakyat dalam menghadapi cobaan adanya virus corona. Berharap pada sistem kapitalis sekuler yang diterapkan saat ini, bagaikan pungguk merindukan bulan. Karena dalam kamus kapitalis rakyat hanya dijadikan mangsa dan korban akibat ketamakannya serta membiarkan rakyat untuk “mandiri” menyelesaikan permasalahan kehidupannya. Masihkah kita berharap pada pemimpin yang lahir dari sistem yang batil ini?
 .
Saatnya kita beranjak meninggalkan rusaknya sistem kehidupan yang memmisahkan aturan agama dalam kehidupan, kembali pada sistem kehidupan yang menjadi “rumah” yang sesungguhnya bagi umat Islam yaitu Khilafah. Marilah kita merapatkan barisan dan menyongsong tegaknya kembali Khilafah Islamiyyah yang telah terbukti mampu mensejahterakan kehidupan manusia dan mengembalikan posisi umat Islam pada predikatnya sebagai umat terbaik. Wallahu A’lam