Oleh Sigit Nur Setiyawan

Beberapa tahun ini banyak orang atau organisasi yang santer menyuarakan NKRI harga mati. Mereka menyuarakannya dengan berbagai atribut, poster, flyer bahkan campain besar besaran di media sosial dan berbagai flashmob di CFD. Tema utama biasanya bersanding dengan tagline pasangannya yaitu “Saya Pancasila” dan “Saya Indonesia”.

Apalagi setelah memasuki tahun 2018, ketika proses dalam tahapan pemilu sudah dimulai. Kampanye NKRI harga mati semakin santer terdengar. Tak sungkan sungkan mereka membayar biaya mahal untuk acara yang digelar agar gaungnya bisa masuk dalam tranding topik di dunia maya. 

Masing masing anggota koalisi saling meninggikan dan menyanyikannya siapa paling merdu suaranya. Siapa paling masif menggalang dukungannya. Dan siapa paling heroik dalam pidatonya.

Namun setelah proses demi proses berjalan. Dan didapatlah sepasang pemenang. Nyanyian merdu diantara mereka langsung berubah. Teriakannya bukan lagi soal Pancasila, NKRI dan Bhinneka Tunggal Eka, namun langsung berubah menjadi menteri, menteri dan menteri !!. Aku pingin 10, aku 11 kalau aku 12 dan lain senagainya.

Begitulah wajah demokrasi sesungguhnya. Politik transaksional, dan politik kepentingan. Sehingga persatuan koalisi didasarkan kepada kepentingan dan kedudukan. Maka wajar setelah menang yang terjadi adalah bagi bagi kursi kekuasaan. Kekuasaan seperti kue tar yang layak untuk diperebutkan oleh seluruh anggota timnya. Soal layak dan tidak layak itu mungkin urusan nomor sekian.

Maka wajar dan patut diduga bahwa teriakanya selama ini adalah NKRI harga Menteri !! Namun karena malu dan terlalu vulgar sehingga menjadi kata yang tidak terucap namun terbesit dalam hati dan pikiran. Sungguh ironi bukan? Wallahualam